Sumber Energi Yang Dapat Menggantikan Bahan Bakar Minyak Disebut – Bersama negara-negara di dunia, Indonesia berkomitmen untuk berpartisipasi dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berdampak pada perubahan iklim dengan menandatangani Paris Agreement (
Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% atau 41% pada tahun 2030 dengan bantuan luar negeri. Komitmen ini tertuang dalam dokumen komitmen negara (
Lima tahun kemudian, niat baik pemerintah untuk menjaga suhu bumi agar tidak memanas setiap hari semakin kuat. Hal ini terlihat dari keikutsertaan Indonesia dalam Glasgow Climate Change Summit 2021 atau COP26, dan fokus utama Indonesia pada masa kepresidenannya di kelompok negara G20 pada tahun 2022.
Sayangnya, komitmen tersebut belum dibarengi dengan peningkatan target penurunan emisi nasional sebagaimana tertuang dalam NDC Indonesia. Juga dengan target emisi bersih (
) ditujukan untuk tahun 2060 atau lebih awal. Target tersebut jauh lebih lambat dari yang ditetapkan dalam Pasal 22 Perjanjian Iklim Glasgow, yang mendesak negara-negara di dunia untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2050.
Salah satu industri penghasil emisi karbon adalah industri energi. Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dengan beralih secara bertahap ke energi yang ramah lingkungan.
Dihubungi pada Sabtu (18/12/2021), Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, “Energi hijau sudah menjadi kebutuhan dan kebutuhan, tidak bisa atau tidak.” ).
Kebijakan pemerintah untuk mengurangi bahan bakar fosil seperti dekomisioning awal pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara. Pada saat yang sama, percepatan mobil listrik (
/EV) juga sedang dieksekusi. Selain itu, sambil menunggu ekosistem EV siap, penggunaan bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel juga semakin digalakkan untuk menggantikan bahan bakar fosil.
/CPO) sebagai bahan baku biofuel Indonesia. Selain itu, minyak sawit menjadi pilihan karena telah terbukti menjadi bagian dari energy blend lebih dari satu dekade lalu. Hal ini terlihat pada program B30, sebuah program untuk mencampurkan 30% biodiesel sawit ke dalam solar. Padahal, pendistribusian minyak sawit sebagai biofuel telah diatur sejak 2015 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan dibentuknya Badan Pengelola Dana Pengembangan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Mereka juga menyediakan mekanisme untuk merangsang pendapatan biodiesel dengan minyak sawit,” jelas Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, dihubungi pada Sabtu (18/12/). 2021).
B30 adalah campuran (FAME), masih terlalu banyak. Insentif biodiesel berasal dari dana pungutan ekspor produk sawit dan turunannya yang dikelola oleh BPDPKS. “Makanya insentif saat ini hanya untuk biodiesel sawit. Belum ada biofuel dari pabrik lain,” imbuhnya.
Sementara itu, seperti biofuel lainnya, biodiesel lebih mahal daripada bahan bakar fosil karena biaya bahan bakunya yang sangat mahal, pasokannya tidak sebanyak bahan bakarnya, dan proses produksinya yang lebih rumit. Hal ini juga sejalan dengan tingginya harga CPO sejak awal pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, tidak heran jika sampai saat ini pengembangan B40 sebagai upgrade dari B30 masih mengalami kendala biaya produksi.
Selain harga, distribusi minyak sawit untuk digunakan sebagai bahan bakar akan menjadi tantangan selanjutnya dalam pengembangan biofuel. Sampai saat ini distribusi minyak sawit sebagai bahan biodiesel semakin meningkat. Namun, pada saat yang sama, alokasi ekspor sawit untuk CPO terus meningkat.
Menurut Fadli Ahmad Naufal, spesialis sistem informasi geografis di Sustainable Civil Foundation, harga minyak sawit dunia masih bagus, dan ekspor akan terus meningkat. “Bisnis (kelapa sawit-red) tidak mau rugi. Mereka tidak mau kehilangan momen saat harga sawit naik,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (17/12/2021).
Sebagai informasi, berdasarkan data sejumlah asosiasi sawit, total produksi CPO tahun lalu mencapai 51,58 juta ton, di mana 34 juta ton atau 66 persen di antaranya diekspor dan 17,34 juta ton atau 34 persen digunakan untuk konsumsi dalam negeri.
14% kebutuhan dalam negeri digunakan untuk kebutuhan biodiesel. Indikator ini diperkirakan akan meningkat menjadi 15,2% tahun ini. Sedangkan hingga semester II-2021, produksi biodiesel mencapai 5,06 juta kiloliter, sementara konsumsi domestik mencapai 4,63 juta kiloliter.
Situasi ini membuat Fadli khawatir. Sebab, jika minyak sawit terus diperas untuk kebutuhan ekspor dan biodiesel, potensi deforestasi akan meningkat, terutama di hutan alam, hutan lindung, dan hutan konvensional. Faktanya, peningkatan deforestasi mempersulit pengurangan emisi karbon. Meskipun Indonesia telah beralih ke energi terbarukan (EBT).
“Jika kelapa sawit tetap menjadi prioritas, deforestasi tidak bisa dihindari. Pengusaha yang memiliki lahan sawit sangat ingin meningkatkan penggunaan biofuel. Tapi mereka tidak mau memotong penjualan ekspor. Cara terakhir adalah membersihkan lahan,” jelasnya.
Hingga saat ini masih tersisa 1,16 juta hektare izin kelapa sawit, menurut catatan Yayasan Madani Berkesusan. Namun, luas lahan tersebut masih berhimpitan dengan lahan perhutanan sosial yang bersertifikat
Dengan perkiraan pertumbuhan mobil hingga 6% per tahun. Artinya, produksi biofuel perlu ditingkatkan hingga 50% selama tiga tahun ke depan untuk memenuhi persyaratan pengurangan emisi karbon sebesar 36 juta ton pada tahun 2040.
Dengan demikian, peningkatan produksi ini berdampak pada pembukaan lahan untuk tanaman yang menjadi bahan utama biofuel, sekitar 1,2 juta ha atau sekitar seperempat dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Kebun sawit mandiri di Melawi menghadapi kendala dan tantangan dalam pengelolaan dan budidaya sawit. Mereka kesulitan mengakses pasar, sehingga harga jual buah segar di tingkat petani rendah. Foto: Arief Nugroho/Pontianak Post
Oleh karena itu, untuk mencapai bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, Fadli menilai penting bagi pemerintah untuk melakukan diversifikasi ke biofuel. Dia mengatakan, diversifikasi ke biofuel sangat dimungkinkan mengingat Indonesia memiliki banyak tanaman yang berpotensi untuk digunakan sebagai bahan bakar bersih.
Laporan Akhir Riset Pengembangan Bahan Bakar Nabati 2015 oleh Bappenas mencantumkan beberapa tanaman untuk biodiesel, biochar dan bioetanol. Diantaranya kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, nimplung, kerimi sunan, mikroalga, tebu, singkong, jagung, sagu, aren, sorgum, makroalga. Selain itu, terdapat sisa hutan, sisa pertanian dan rumput gajah yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biomassa.
Julius Christian Adiyatma, spesialis bahan bakar bersih di Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan Indonesia sebenarnya telah berhasil melakukan diversifikasi dari bahan bakar fosil dengan bioetanol atau biofuel berbahan dasar tebu. “Namun sayangnya, ini hanya sesaat. Terakhir digunakan untuk bahan bakar mobil pada 2020. Jumlah yang dihasilkan tidak sebesar kelapa sawit,” ujarnya usai menyampaikan materi pada media briefing Transisi Energi Indonesia 2022 di Jakarta Pusat, Senin. .(20/12) /2021).
Menurut Direktur Utama EBTKE Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, penghentian produksi biothenol untuk kebutuhan massal, khususnya di sektor transportasi, karena kurangnya sumber insentif untuk mendukung program tersebut. Tidak seperti kelapa sawit, yang insentifnya berasal dari pungutan ekspor CPO, tidak ada dana khusus untuk mendaur ulang pengiriman (
Dengan demikian, biaya produksi bioetanol beberapa kali lebih tinggi daripada biodiesel atau biofuel untuk bahan bakar jet. “Karena belum ada lembaga khusus seperti BPDPKS yang mengolah dana dari bioetanol,” jelas Julius.
Padahal, dari sisi suplai, masih banyak lahan tebu yang belum tergarap dan bisa dimanfaatkan untuk peningkatan produksi bioetanol. Menurut catatan Yayasan Madani, setidaknya terdapat 172.880 ladang tebu di seluruh Indonesia.
Selain bioetanol tebu, pemerintah juga dapat mengembangkan bahan bakar solar lainnya yang dikenal dengan nama kelapa atau cocodiesel. Bahan bakar pengganti BBM ini sebelumnya dikembangkan oleh Balai Kimia dan Pengemasan (BPK) Kementerian Perindustrian bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Pusat Sistem Propulsi dan Termodinamika Motor pada tahun 2020. tepat.
Alhasil, kualitas bahan bakar cocodiesel tidak kalah dengan biodiesel produksi PT. PERTAMINA. Faktanya, cocodiesel lebih berkualitas daripada solar karena angka cetane-nya (
) kurang terkenal dibandingkan dengan biodiesel turunan minyak sawit di mesin. Namun, Rizkon Fajar, peneliti Pusat Teknologi Prasarana dan Sistem Transportasi BPPT, mengatakan kinerja cocodiesel tidak jauh berbeda dengan biodiesel sawit.
Belum lagi, kandungan karbon monoksida, hidrokarbon, dan partikulat yang dipancarkan dari cocodiesel lebih rendah dibandingkan minyak tanah (solar). Pada saat yang sama, kandungan emisi coco-diesel bisa lebih tinggi atau sama dengan bahan bakar solar, tergantung pada jenis atau konfigurasi mesin dieselnya.
“Karena kandungan rantai ganda minyak kelapa lebih rendah dari minyak sawit, maka emisi NOx dari cocodiesel bisa jadi lebih rendah dari biodiesel sawit,” jelas Rizcon saat dihubungi awal Desember lalu.
Angka cetane cocodiesel adalah 63 dan 70, sedangkan angka cetane biodiesel sawit adalah 50-70 dan 65. Nilai kalor coco-diesel (35,3 MJ/kg) sedikit lebih rendah dari biodiesel sawit (37 MJ/kg). ). Kg) performance performance (tenaga dan torsi) dan emisi dari kedua jenis biodiesel tersebut diperkirakan tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Keunggulan lain dari cocodiesel adalah kandungan yodiumnya yang rendah dibandingkan dengan biodiesel sawit. Kandungan yodium yang rendah menunjukkan rendahnya ikatan rangkap tak jenuh pada coco-diesel. Hal ini mengurangi risiko serangan oksigen dari udara, yang selanjutnya dapat menyebabkan reaksi oksidasi berpolimerisasi membentuk padatan atau endapan (skala).
Padatan ini menumpuk di saluran dan sistem injeksi bahan bakar. Kondisi ruang bakar yang lebih ekstrim (temperatur tinggi) mempercepat/meningkatkan pembentukan endapan dan dapat merusak mesin dengan cepat. “Hal ini kemudian mengurangi risiko degradasi, oksidasi, dan polimerisasi oli mesin, sehingga umur oli menjadi lebih lama,” tambah Rizcon.
Dari segi ketersediaan lahan, kelapa masih memiliki lahan tersedia yang cukup luas. Menurut catatan Yayasan Madani, sedikitnya 969.278 hektare lahan kelapa masih bisa dimanfaatkan.
Pada saat yang sama, terlepas dari bahan baku apa yang digunakan untuk membuat biofuel, harga jual energi hijau sangat jauh.
Energi alternatif pengganti bahan bakar minyak, energi yang digunakan untuk menggantikan bahan bakar minyak disebut energi, cara menghemat energi bahan bakar minyak, energi yang digunakan untuk menggantikan energi dari minyak bumi disebut, energi alternatif adalah sumber energi yang menggantikan energi, energi matahari dapat dipakai untuk menggantikan, minyak jarak dapat diolah sebagai sumber energi alternatif untuk menggantikan, sumber energi selain dari bahan bakar fosil disebut, bahan pakan sumber energi, mengapa matahari disebut sebagai sumber energi utama, biodiesel dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar, biodiesel dapat menggantikan bahan bakar
No Comments